https://www.warisansunda.blogspot.com/jawa-barat
Nilai Kujang sebagai sebuah jimat atau azimat, pertama kali muncul
dalam sejarah Kerajaan Padjadjaran Makukuhan dan Panjalu. Tepatnya pada
masa pemerintahan Prabu Kudo Lalean(disebut juga Prabu Kuda Lelean di
tanah Sunda dan Kerajaan Panjalu Ciamis). Prabu Kuda Lelean / Kudo
lalean juga dikenal sebagai Hyang Bunisora dan Batara Guru di Jampang
karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang
(Sukabumi).
Sejak itu, Kujang secara berangsur-angsur dipergunakan para raja dan
bangsawan Kerajaan itu sebagai lambang kewibawaan dan kesaktian. Suatu
ketika, Prabu Kudo Lalean tengah melakukan tapa brata di suatu tempat.
Tiba-tiba sang prabu mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk Kujang,
yang selama ini dipergunakan sebagai alat pertanian.
Anehnya, desain terbaru yang ada di benak sang Prabu, bentuknya mirip
dengan Pulau “Djawa Dwipa”, yang dikenal sebagai Pulau Jawa pada masa
kini. Nah, setelah mendapat ilham itu, segera prabu Kudo Lalean
menugaskan Mpu Windu Supo, seorang pandai besi dari keluarga kerajaan.
Ia diminta membuat mata pisau seperti yang ada di dalam pikiran sang
Prabu. Mulanya, Mpu Windu Supo gusar soal bentuk senjata yang mesti
dibuatnya. Maka sebelum melakukan pekerjaan, Mpu Windu Supo melakukan
meditasi, meneropong alam pikiran sang prabu. Akhirnya didapatlah sebuah
bayangan tetang purwa rupa (prototype) senjata seperti yang ada dalam
pikiran Kudo Lalean.
Setelah meditasinya usai, Mpu Windu Supo memulai pekerjaannya. Dengan
sentuhan-sentuhan magis yang diperkaya nilai-nilai filosofi spiritual,
maka jadilah sebuah senjata yang memiliki kekuatan tinggi. Inilah sebuah
Kujang yang bentuknya unik, dan menjadi sebuah objek bertenaga gaib.
Senjata ini memiliki 2 buah karakteristik yang mencolok. Bentuknya
menyerupai Pulau Jawa dan terdapat 3 lubang di suatu tempat pada mata
pisaunya. Inilah sebuah senjata yang pada generasi mendatang selalu
berasosiasi dengan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan.
Bentuk Pulau Jawa sendiri merupakan filosofi dari cita-cita sang
Prabu, untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil tanah Jawa menjadi satu
kerajaan yang dikepalai Raja Padjadjaran Makukuhan. Sementara tiga
lubang pada pisaunya melambangkan Trimurti, atau tiga aspek Ketuhanan
dari agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kudo Lalea. Tiga aspek
Ketuhanan menunjuk kepada Brahma, Vishnu, dan Shiva. Trinitas Hindu
(Trimurti) juga diwakili 3 kerajaan utama pada masa itu.
Kerajaan-kerajaan itu antara lain Pengging Wiraradya, yang berlokasi di
bagian Timur Jawa; Kerajaan Kambang Putih, yang berlokasi di bagian
Utara Jawa, dan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan, berlokasi di Barat.
Bentuk Kujang berkembang lebih jauh pada generasi mendatang.
Model-model yang berbeda bermunculan. Ketika pengaruh Islam tumbuh di
masyarakat, Kujang telah mengalami reka bentuk menyerupai huruf Arab
“Syin”. Ini merupakan upaya dari wilayah Pasundan, yakni Prabu Kian
Santang(Dikenal juga dengan Nama Prabu Borosngora ,dan Bunisora
Suradipati dari kerajaan panjalu), yang berkeinginan meng-Islamkan
rakyat Pasundan. Akhirnya filosofi Kujang yang bernuansa Hindu dan agama
dari kultur yang lampau, direka ulang sesuai dengan filosofi ajaran
Islam. Syin sendiri adalah huruf pertama dalam sajak (kalimat) syahadat
dimana stiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan Nabi Muhammad
sebagai utusan-Nya. Dengan mengucap kalimat syahadat dan niat di dalam
hati inilah, maka setiap manusia secara otomatis masuk Islam.
Manifestasi nilai Islam dalam senjata Kujang adalah memperluas area
mata pisau yang menyesuaikan diri dengan bentuk dari huruf Syin. Kujang
model terbaru seharusnya dapat mengingatkan si pemiliknya dengan
kesetiannya kepada Islam dan ajarannya. Lima lubang pada Kujang telah
menggantikan makna Trimurti. Kelima lubang ini melambangkan 5 tiang
dalam Islam (rukun Islam). Sejak itulah model Kujang menggambarkan
paduan dua gaya yang didesain Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang.
Namun wibawa Kujang sebagai senjata pusaka yang penuh “kekuatan lain”
dan bisa memberi kekuatan tertentu bagi pemiliknya, tetap melekat.
Dalam perkembangannya, senjata Kujang tak lagi dipakai para raja dan
kaum bangsawan. Masyarakat awam pun kerap menggunakan Kujang sama
seperti para Raja dan bangsawan. Di dalam masyarakat Sunda, Kujang kerap
terlihat dipajang sebagai mendekorasi rumah.
Konon ada semacam keyakinan yang berkait dengan keberuntungan,
perlindungan, kehormatan, kewibawaan dan lainnya. Namun, ada beberapa
takhayul yang dianggap sebagai pantangan yang tak boleh dilakukan. Yakni
memajang Kujang secara berpasangan di dinding dengan mata pisau yang
tajam sebelah dalam saling berhadapan. Ini merupakan tabuatau larangan.
Selain itu, tidak boleh seorangpun mengambil fotonya sedang berdiri di
antara 2 Kujang dalam posisi tersebut. Kabarnya, ini akan menyebabkan
kematian terhadap orang tersebut dalam waktu 1 tahun, tidak lebih tapi
bisa kurang.
mantap....
BalasHapus